Skip to main content

Pengalaman Motivasi : Manusia, Jalan, dan Tujuan Hidup

Kadang jalan hidup tidak langsung mengarah ke tujuan hidup. Dan jalan hidup itu berupa jalan satu arah, kita tidak bisa menerobos seenaknya melawan arah. Jalani saja dengan tekad dan ambisi yang kuat, nanti kalian akan terbiasa dengan jalan tersebut, dan justru akan lebih cepat sampai di tujuan anda dibanding harus memutar dan melawan arah, lalu mencari jalan lain. Bensinmu itu nafasmu. Jangan sampai bensin kalian habis untuk mencapai tujuan hidup dengan mencoba-coba jalan yang tidak pasti- Bayu Bendesa

Pernahkan kalian merasakan bahwa setiap langkah yang kalian pilih itu selalu salah dan kadang tidak sesuai dengan apa yang kalian harapkan? Saya seringkali merasakan itu. Seperti lirik lagu Queen - Bohemian Rhapsody : "I sometimes wish I never been borned at all" dan kalian akan menyesali hidup kalian. Saya dulunya salah satu orang yang tidak tahu tujuan hidup, tidak tahu arah hidup, sehingga dengan mudahnya disetir orang-orang agar menjadi ini-menjadi itu. Sampai setelah lulus SMA dulu, saking saya tidak tahu arah, saya kebingungan menentukan jurusan kuliah yang ingin saya tuju. Orang tua menyarankan agar saya bisa masuk di kesehatan. Kalau tidak dokter ya farmasi. Saya dengan kenaifan dan ketidaktahuan pun menurut. Dulu hanya 1 yang saya tahu : Saran orang tua mungkin yang paling benar dan orang tua adalah orang yang paling terpercaya di muka bumi ini. Sayapun berusaha banting tulang agar bisa masuk di kampus farmasi. Namun sayang dalam SNMPTN dan SBMPTN saya gagal menggapai kampus farmasi. Dengan gagalnya saya dulu memperoleh jurusan yang (orang tua) saya inginkan, kuliah di kampus negeri, ditambah pemikiran saya yang dangkal, sempat saya berfikir untuk tidak kuliah. 
Namun mendekati tahun ajaran baru, hati dan pikiran saya terbuka berkat sahabat saya sejak SMP. Saat saya liburan dengannya, kami sedikit "curhat" mengenai kehidupan setelah SMA. Dan saya kaget. Dia ternyata sudah mendaftar di salah satu kampus swasta dengan jurusan ekonomi, padahal saat SMA dia siswa jurusan IPA. Setelah jalan-jalan dan pulang ke rumah, sayapun menceritakan ini kepada orang tua saya. Mereka mendukung dan senang akhirnya aku punya niat untuk kuliah. Lalu mereka bertanya pada saya, "Kamu mau ambil jurusan apa disana?". Aku juga bingung, dulu sebenarnya aku ingin mengikuti langkah sahabatku di jurusan ekonomi. Namun ayah saya sangat marah. "Kamu itu jurusan IPA! Kenapa kamu cari jurusan ekonomi?! Lagipula kakakmu sudah sarjana ekonomi dan kamu lihat dia bagaimana, kan? Kamu mau mengumpulkan sarjana ekonomi di rumah ini?! Cari jurusan lain!" Katanya. Saya yang awalnya menggebu-gebu sempat down. Dan masih dengan kenaifan dan kepolosan saya mencari jurusan lain (yang lebih sesuai dengan jurusan MIPA) di kampus yang sama. Dan ternyata ada Fakultas Teknik dan jurusan Teknik Sipil dan Elektro. "Cuma ini?" gumam saya. Memang, kampus itu terkenal dengan fakultas ekonominya, sedangkan Tekniknya biasa saja. Sekali lagi, agar orang tua senang, sayapun mengumpulkan niat untuk masuk di jurusan Teknik Sipil. Itupun awalnya saya tidak tahu kalau Teknik Sipil itu adalah jurusan yang banyak perhitungan mengenai struktur bangunannya. Saya tahu itu beberapa sebelum SBMPTN. Mungkin banyak yang dulunya sekolah di STM dan SMK mengenai bangunan yang benar-benar ingin masuk di Teknik Sipil, karena mereka sudah hafal dengan yang namanya bangunan beserta komponennya. Sedangkan saya? Hanya orang yang mudah terkena angin bermodalkan perhitungan fisika dan matematika dasar pada SMA. Akhirnya dengan ikhlas dan niat yang mulai terbangun, saya menjalaninya dengan ikhlas dan penuh ambisi. 5 Semester pertama, saya masih saja tidak mengenal dengan baik mengenai bangunan. Selama 5 semester tersebut saya hanya mengerti cara menghitung, namun tidak tahu pengaplikasiannya dan cara teknis di lapangan. 5 semester saya diselubungi aura kebodohan praktik, dan saya bisa menyebut dulu diri saya merupakan "fakir praktik" : orang yang kekurangan praktik. Sayapun berfikir, "Ini saya kuliah dengan ilmu terapan, jadi harus perlu praktik, saya bukanlah calon politikus, ataupun calon dagang, saya harus memperdalam ilmu lapangan!". Harapan saya terwujud di semester 6. Pada semester 6 saya mengambil mata kuliah KP (Kerja Praktek) atau pada fakultas lain disebut PKL (praktek Kerja Lapangan). Dan beruntungnya, saya belajar banyak hal pada KP tersebut. Awal semester, saya sangat kesulitan mencari tempat KP. Dan sekali ketemu pasti ditolak. "Apa sesulit ini mencari kerja?" Begitu gumam saya kepada teman saya. Berhari-hari saya mencari tempat KP namun hasilnya nihil, sampai saya berkonsultasi dengan Kaprogdi dan Dekan. Mereka bagaikan dewi fortuna bagi saya. Mereka berdua kompak menyarankan saya agar saya KP di perusahaan konsultan perencana milik alumni Teknik Sipil kampus tersebut. Dan benar saja, baru mendaftar saja dia sudah baik terhadap saya, dan akhirnya saya melakukan KP di tempat itu. Disana saya belajar bagaimana konsultan perencana proyek bekerja, mulai dari menghitung RAB, menghitung struktur, dan sebagainya. Hingga sampai 2 minggu terakhir sebelum saya selesai KP saya dan teman-teman saya diajak membuat  video dan buku. Dan inipun menjadi buku pertama yang pernah saya buat sepanjang hidup saya :
https://drive.google.com/open?id=1m7mx3VUkTMQRWxPRWkQDZiXPInIJ-wzxSaya cukup puas dapat merasakan dunia kerja, namun masih saja saya merasakan kurang. Ya, saya sudah bekerja di kantor perencana, saya masih kurang di lapangan yang memang "lapangan", dan sekali lagi, keberuntungan memihak saya. Pemilik tempat KP yang merupakan alumni kampus saya tersebut menawarkan agar ikut menjadi tim MK dan pengawas untuk mengawasi proyek lapangan yang akan berlangsung. Mungkin ini yang namanya kebahagiaan yang hakiki, sejak saat itupun saya bekerja dengannya menjadi admin proyek. Dan sejak itu pula rasa keinginan saya betul-betul terpuaskan, agar selain saya belajar teori, saya juga bisa belajar dan di bayar pula di lapangan.
Inilah yang namanya pembelajaran, awalnya saya linglung, tidak tahu arah, namun dengan niat dan ambisi lama-lama pasti akan terbiasa dan justru bisa kita kuasai. Dosen saya pernah berkata "Tujuan hidup dan Jalan hidup itu berbeda, waspadalah". Ya, mungkin pilihan hidupku itu bukan berupa cita-cita ingin jadi A atau B, tapi memang pilihan hidup saya bisa membuat orang tua bangga melalui jalan hidup saya, yaitu menjadi mahasiswa Teknik Sipil, lulus, lalu bekerja di dunia konstruksi. Ide, Inspirasi dan Kreativitas memang datang dari mana saja. Itu tergantung kita memandang dan menjalaninya seperti apa. Saran saya, seperti apa yang telah saya sebut di awal, "Kadang jalan hidup tidak langsung mengarah ke tujuan hidup. Dan jalan hidup itu berupa jalan satu arah, kita tidak bisa menerobos seenaknya melawan arah. Jalani saya dengan tekad dan ambisi yang kuat, nanti kalian akan terbiasa dengan jalan tersebut, dan justru akan lebih cepat sampai di tujuan anda dibanding harus memutar dan melawan arah, lalu mencari jalan lain. Bensinmu itu nafasmu. Jangan sampai bensin kalian habis untuk mencapai tujuan hidup dengan mencoba-coba jalan yang tidak pasti".

Comments

Popular posts from this blog

Stan Lee, The Father of Superheroes

Stan Lee (Stanley Martin Lieber, lahir di  New York City ,  New York ,  28 Desember   1922  – meninggal di  Los Angeles ,  California ,  12 November   2018  pada umur 95 tahun) adalah seorang penulis, editor, penerbit, produser, dan aktor dari  Amerika . Stan Lee mulai membuat komik untuk pertama kalinya pada  tahun 1941  tentang  Captain America . Pada  tahun 1960 , Stan Lee mendirikan  Marvel Comics  yang memperkenalkan penokohan lebih lengkap dalam karakter seorang pahlawan yang kuat, sehingga menarik minat orang banyak, khususnya anak-anak. Bekerja sama dengan beberapa seniman, termasuk  Jack Kirby  dan  Steve Ditko , dia menciptakan  Spider-Man ,  Hulk ,  Doctor Strange ,  Fantastic Four ,  Iron Man ,  Daredevil ,  Thor ,  X-Men , dan banyak karakter fiksi lainnya, mengenalkannya secara menyeluruh. Berbagi alam semesta menjadi komik superhero. Selain itu, dia menantang organisasi penyensoran industri komik,  Otoritas Kode Komik , yang memaksanya untuk mereformasi kebijakannya.